Samirah

Bingung dan takut, itulah yang dirasakan Samirah ketika bus yang akan mengantarnya pulang kampung di stop petugas, persis di perbatasan kota besar yang menghidupinya selama ini. Petugas menyuruh si sopir turun, dan bersamaan dengan itu dua orang petugas lain naik ke bus. Telah menjadi kebiasaannya selama ini, Samirah hampir selalu duduk persis di belakang sopir. Dan kali ini kebiasaannya itu membuatnya menjadi orang pertama yang ditanyai petugas. Entah apa yang dimimpikannya semalam.
“mau ke mana bu? Tolong dikeluarkan KTP-nya” tanya petugas
“maaf pak polisi, salah saya apa pak?” Dengan tangan gemetar dan jantung berlarian (khas orang udik yang seumur-umur tak pernah berbincang dengan polisi), ditekadkannya bertanya sembari mencari KTP di dompetnya.
“ibu ini pura-pura tidak tahu apa! Kan sudah di umumkan tiap hari, dikoran, TV, tidak boleh mudik” Sergah petugas. “ini ibu sudah melanggar peraturan!bisa dihukum kalau nekad melawan aturan dan berani sama petugas” lanjutnya.
Bagi Samirah, berita bahwa pemerintah melarang orang untuk mudik sebenarnya tidak asing di telinganya. Bagaimana tidak akan tahu, bila setiap hari dan hampir tiap jam di seluruh stasiun TV memberitakan himbauan (yang bermutasi menjadi larangan) pemerintah agar seluruh masyarakat untuk tahun ini tidak mudik atau pulang kampung. Wabah penyakit COVID-19 yang sangat menakutkan dan mematikan akan menyebar dan tak terkendali bila masyarakat mudik. Dalam menghadapi wabah ini, semua lapisan masyarakat harus memiliki kesadaran dan kepedulian sosial yang tinggi untuk menahan diri di rumah, hanya keluar bila memang benar-benar penting, dan yang terutama, tidak mudik! Jangan sampai siapapun orang akan membawa musibah bagi keluarganya atau orang lain. Begitulah kira-kira penjelasan-penjelasan mengapa pemerintah melarang masyarakat mudik. Sangat mudah dicerna, logis, (hampir) tidak menciptakan bias pemahaman bagi siapapun.
Namun tidak demikian dengan nuansa kebatinan Samirah. Meski hanya seorang pembantu yang tidak tamat SD, penjelasan-penjelasan itu tidak sulit untuk diterima di pikiran Samirah. Dia sadar betul, bahwa pagebluk yang saat ini terjadi sangat menakutkan, karena taruhannya mati. Bahkan dimensi spiritualnya pun telah menuntun untuk lebih mendekatkan dan berpasrah diri kepada Gusti Allah. Di tiap untaian doa yang didaraskannya semalam-malaman, hanya memohon agar Gusti Allah meluputkan pagebluk ini dari dirinya, majikannya, suami, anak-anak dan cucunya di desa. Tak lebih hanya itu. Kesadaran logisnya pun sebangun, bila dia memaksa mudik akan memaparkan resiko bagi keluarga besarnya, dan yang pasti akan dikarantina 14 hari di kantor desa. Pada akhirnya, semua bangunan logis itu berbenturan dengan nuansa kebatinannya yang berbisik lain. Baginya, mudik bukan semata pulang kampung, bertemu hangat dengan keluarga tercintanya, berbagi kegembiraan rejeki duniawi yang dikumpulkannya setahun ini, mudik bagi seorang Samirah melebihi semua ritual itu!
Bagi Samirah yang tak tamat SD, yang telah juga berkepala 5 lebih, sulit rasanya untuk memilih memenangkan kesadaran logisnya untuk tidak mudik. Tahun ini genap 10 tahun sudah dia harus terpisah dengan keluarganya, dan bisa berkumpul hanya 10 hari di tiap tahunnya. Baginya, waktu 10 hari telah menjadi kesempatan yang tak ternilai untuk bisa menunaikan kewajibannya sebagai istri, ibu dan nenek bagi dua orang cucunya. Nuansa kebatinannya yang begitu kuatlah yang telah pula memeliharanya selama ini dari godaan hidup di kota dan jauh dari keluarga. Bila bukan karena keterpaksaan yang begitu mendesak, serta sedikit jaminan ketenangan bahwa majikannya masih kerabat jauh, tak sekalipun dibayangkannya menjalani hidup seperti 10 tahun ini. Dan telah menjadi sebagaimana harusnya, nuansa kebatinannya lebih berkuasa dari kesaradan logis Samirah. “Aku harus pulang, apapun yang terjadi!”
Pun meski majikannya telah turut mengingatkan, “Bulik Samirah sebaiknya tidak usah pulang dulu. Ditunda barang sebentarlah, paling bulan depan pemerintah juga sudah membolehkan. Namanya juga pas ada musibah besar bulik, ndak ada yang membayangkan dan meminta ini terjadi.”
Samirah paham betul maksud majikannya “Inggih bu, saya juga sebenarnya sangat takut sama pagebluk ini”.
“tapi bagaimana ya…, tidak baik kalau ngowah-owahi adat bu. Saya juga masih punya kewajiban sama yang di desa. Saya mohon tetap diijinkan untuk pulang bu” belas Samirah pada majikannya.
“Ya sudah bulik. Bukan kok saya ndak mengijinkan, tapi kasihan sama bulik di jalan nanti.” sang majikan berusaha meyakinkan Samirah.
“kalau ketahuan petugas, Bulik pasti disuruh balik” lanjutnya
“itu masih untung, bisa-bisa bulik ditahan di kantor polisi kalau ketemu yang galak” gigih sang majikan agar Samirah mengurungkan dulu niatnya mudik.
“iya bu, saya sangat memahami dan banyak berterima kasih dengan maksud ibu. Tapi sekali lagi, mohon diijinkan saya mudik seperti biasanya” tekad Samirah telah bulat.
Apa yang dua hari lalu diperingatkan majikannya, syahdan dialaminya sekarang. Dua hari yang telah diisinya dengan pergulatan antara batin dan pikir, hingga hasil yang diperolehnya ketika mengais-ais pengandaian akan apa yang harus dilakukan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang dijumpai, masih juga menghadirkan kegugupan ketika salah satu kemungkinan itu menjadi keniscayaan. Meski harus berbohong, tidak mungkin baginya untuk beralasan dengan hal-hal yang buruk, macam keluarga sakit, meninggal, atau sekedar nikahan. Dia meyakini betul bahwa setiap pikiran, batin, dan ucapan sejatinya adalah lantunan doa. Jadi nonsense bagi seorang Samirah untuk mencelakai keluarganya dengan mendoakan yang jahat. Satu-satunya alasan yang akhirnya ditemukannya adalah, dia harus pulang karena sudah tidak dapat kerja lagi di kota dan tidak punya tumpangan disini. Meski harus berbohong, setidaknya Samirah meyakini betul bahwa tidak ada seorangpun yang dicelakainya. Pun bilamana pada akhirnya dia benar-benar tidak akan kembali ke kota, telah dirancangnya pula apa yang harus dikatakan ke majikannya kelak.
“pak polisi, tolong pak saya jangan di tangkap, saya bukan penjahat pak” nada kegugupan masih meliputi jawaban Sumirah.
“iya pak, saya lihat di TV kalau tidak boleh mudik” lanjut Samirah
“tapi tolong saya dikasihani pak, saya cuma pengen mudik, keluarga saya semua di Desa pak” sambil masih menatap dengan memelas berbaur takut.
“nah, apalagi ibu sudah tahu dilarang mudik. Ini berarti sengaja ibu melanggar aturan pemerintah!” nada si petugas sedikit menyiratkan kejengkelan yang tertahan, khas seperti layaknya menginterogasi buruan yang coba berkelit.
“ibu harus kembali ke kota! atau pilih ditahan di kantor” tegas petugas memberi Samirah pilihan. Yang bagi Samirah sendiri bukanlah sebagai pilihan, ketika kebebalan batinnya tetap meneriakkan “Mudik!” itulah satu-satunya pilihan Samirah.
Dengan tekad yang mulai mengangsur takutnya, “saya harus pulang pak polisi!”
“saya punya kewajiban sebagai istri, ibu, dan nenek bagi suami, anak, dan cucu saya! Saya bukan maling!” lantang Samirah penuh geram, jengah, dan gelisah bersikeras memenangkan harta berharganya yang nyaris lepas.

Post a comment or leave a trackback: Trackback URL.

Tinggalkan komentar