Unqualified Opinion, Kewajiban ataukah Hak?

Ada pergeseran pemahaman makna atas pemberian Opini BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah. Terlebih bagi Pemerintah Daerah, yang saat ini berlomba – lomba untuk mencapai predikat opini Wajar Tanpa Pengecualian (unqualified opinion). Sekilas hal ini merupakan sebuah nilai plus, bahwa semua instansi pemerintah sebagai entitas pelaporan sadar akan pentingnya opini BPK atas Laporan Keuangan yang disusunnya. Namun yang perlu dipertanyakan, predikat unqualified opinion sebenarnya merupakan kewajiban ataukah hak? hal ini relevan untuk dipertanyakan mengingat realita yang sudah dan sedang berlangsung, semua instansi pemerintah dengan berbagai cara berusaha mengejar predikat tersebut, hingga substansinya justru terabaikan. Kenyataan ini dapat dianalogikan seperti seorang siswa yang begitu rajinnya belajar untuk mencapai nilai ujian 100 di setiap mata pelajarannya tanpa sadar bahwa seharusnya dia belajar untuk mendapatkan ilmu, bukan mengejar nilai ujian. Hal ini dapat dilihat dari 2 peristiwa suap (Kota Bekasi dan Tomohon) dengan tersangka auditor BPK untuk “meraih predikat WTP/WDP” atas Laporan Keuangan Pemdanya.

Pada dasarnya opini WTP dari BPK dengan bahasa bebas dapat dimaknai sebagai parameter (atau bentuk apresiasi) atas praktek pengelolaan keuangan pemerintah, atau dengan kata lain dapat pula dipahami sebagai gambaran yang menunjukkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan sebuah instansi Pemerintah. hal ini berarti bahwa opini hanyalah merupakan alat bantu / alat ukur dan yang menjadi  tujuan utamanya justru akuntabilitas itu sendiri. Pemahaman inilah yang sekarang mulai bergeser, artinya instansi pemerintah hanya bertujuan pada opini dan bukan pada akuntabilitas keuangannya sendiri. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi diantaranya yaitu :

  1. Dalam prioritas pembangunan nasional 2010-2014 bidang Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola salah satu sasarannya adalah terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas KKN dengan dua indikator, pertama Indeks Persepsi Korupsi dengan target nilai 5 pada 2014 dan yang kedua Opini BPK(WTP) dengan target Pemerintah Pusat 100% dan Daerah 60% berpredikat WTP pada 2014.
  2. Dana Insentif Daerah (DID) merupakan reward / bonus bagi Instansi Pemerintah yang Laporan Keuangannya memperoleh predikat WTP/WDP.
  3. Prestise (nilai politis) atas predikat WTP bagi pimpinan entitas, utamanya adalah Kepala Daerah.

Lalu merujuk judul tulisan ini, dengan realita yang berlangsung maka jawaban apa yang lebih tepat? bagi saya, akan lebih bijak bila Pemerintah menempatkan kembali hakikat opini WTP sebagai bentuk “penghargaan” dalam proses meningkatkan akuntabilitas dan transparasinya. lebih jauh, akan lebih berharga bila pemerintah menjadikan opini WTP sebagai semangat dan pijakan dalam usahanya mencapai tujuan akhir yaitu kesejahteraan rakyat yang berkeadilan.

Jadi, apa pendapat anda? Unqualified Opinion, Kewajiban ataukah Hak?

Post a comment or leave a trackback: Trackback URL.

Tinggalkan komentar